Kompas.Com, Sabtu, 14 April 2012
Sistem peringatan dini tsunami Indonesia yang diluncurkan tahun 2008
kini ditingkatkan kemampuannya dengan peranti lunak aplikasi decision
support system. Sistem ini selain memberikan informasi gempa bumi
berpotensi tsunami, juga ketinggian dan waktu tiba tsunami.
Sistem
peringatan dini tsunami, biasa disebut Indonesia Tsunami Early Warning
System (Ina TEWS), mulai dibangun tahun 2005, pascatsunami besar di Aceh
dan Nias, 26 Desember 2004.
Pembangunan jejaring pemantau tsunami
itu melibatkan beberapa negara, antara lain, Amerika Serikat, Jerman,
dan China. Pemerintah Jerman melalui Pusat Antariksa Jerman (DLR) dan
Pusat Riset Kebumian (GFZ) menjadi pendukung utama pemasangan jejaring.
Tahun 2010, Ina TEWS beroperasi penuh. Sistem itu terdiri dari 160 unit seismograf, 500 unit akselerograf, dan 140 unit radio
and internet for the communication of hydro-meteorological and climate
related information yang dikelola Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG), kata Kepala BMKG Sri Woro B Harijono.
Selain itu, dalam Ina TEWS juga ada 80 stasiun pasang surut dan 50 stasiun global
positioning system (GPS) yang dikelola Bakosurtanal (kini Badan
Informasi Geospasial/BIG). Ada pula 23 pelampung pemantau tsunami di
beberapa lokasi rawan tsunami yang dioperasikan Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) masuk ke jaringan ini.
Dengan jejaring
alat pemantau itu, hasil pantauan gempa yang berpotensi tsunami dapat
disampaikan dalam lima menit sejak guncangan utama terekam seismograf.
Namun, informasi yang disampaikan hanya sebatas
data kegempaan dan
kemungkinan tsunami setelah gempa besar lebih dari 7 skala Richter.
Pada
23 Maret 2012, bertepatan dengan Hari Meteorologi Dunia, BMKG
meresmikan pengoperasian peranti lunak Ina TEWS generasi baru. Sistem
ini dilengkapi peranti lunak penganalisis data yang disebut decision support system (DSS).
Peranti yang dipasang pada server
di Ruang Operasional Ina TEWS BMKG, kata Kepala Pusat Gempa dan Tsunami
BMKG Suhardjono, merupakan rancangan peneliti dari tiga lembaga yang
dikoordinasikan DLR.
Adapun basis data dan analisis seismik
masing-masing dikerjakan peneliti dari Alfred Wegener Institut dan GFZ.
Pengoperasian dan pemeliharaan sistem dilakukan petugas BMKG yang
dilatih di Jerman.
Pengembangan selanjutnya sesuai Keputusan Menko
Kesra Nomor 21 Tahun 2006 tentang Pengembangan Sistem Peringatan Dini
Tsunami di Indonesia akan mendayagunakan peneliti dan perekayasa dari
Indonesia. Sejak tahun 2010, pembuatan buoy (pelampung) dilakukan perekayasa dari BPPT.
Keunggulan DSS
Penerapan
DSS memiliki beberapa kelebihan dibandingkan generasi peranti lunak
terdahulu. Informasi bukan sebatas potensi gempa, melainkan juga
analisis ketinggian tsunami di beberapa kawasan terdampak pascagempa
besar. Hasil analisis selain ditampilkan dalam bentuk tabel, juga data
spasial, kata Wandono, Kepala Bidang Informasi Dini Gempa Bumi dan
Tsunami BMKG.
Ada tiga tingkatan status ancaman tsunami, tingkat
rendah (di bawah 0,5 m) digambarkan berwarna kuning pada peta. Bagian
ini berstatus waspada. Tingkat ancaman menengah (berpotensi dilanda
tsunami 0,5-3 meter) berwarna jingga, berstatus waspada. Adapun kawasan
berstatus awas diwarnai merah (terancam tsunami lebih dari 3 meter).
”Peta daerah ancaman tsunami dihasilkan DSS dalam 5-10 menit
pascagempa,” katanya.
DSS juga melaporkan waktu sampainya tsunami
di pantai terdampak, demikian Tiar Prasetya, Kepala Subbidang Peringatan
Dini Tsunami BMKG. Pada tahap selanjutnya dikeluarkan hasil verifikasi
data hasil pantauan pelampung dari BPPT dan pasang air laut dari BIG.
Informasi hasil analisis diteruskan ke ASEAN Earthquake Information Center di menit ke-10 dan region tsunami service provider untuk kawasan Samudra Hindia 15 menit kemudian.
Penerapan
sistem otomatis ini, menurut Suhardjono, dapat meminimalkan kesalahan
interpretasi operator. Dengan DSS, campur tangan operator dalam
menentukan peringatan dini tsunami dapat dikurangi.
Untuk hasil
analisis yang akurat, kata Wandono, DSS ditunjang basis data sejarah
tsunami tiap wilayah. Pada basis data itu, ada lebih dari 3.000 skenario
dihasilkan. Simulasi kemudian menghitung berapa kemungkinan dislokasi,
berupa subduksi (bergerak vertikal) dan bergeser (horizontal).
Pada
gempa Rabu (11/4), simulasi menunjukkan, Banda Aceh hingga Meulaboh
berwarna merah (berpotensi terkena tsunami di atas 3 meter), semakin ke
tenggara semakin rendah.
Menurut Wandono, untuk meningkatkan
akurasi prediksi tsunami diperlukan lebih banyak sensor. Saat ini di
Indonesia hanya ada 160 sensor. Bandingkan dengan Jepang yang wilayahnya
lebih kecil memiliki 2.000 sensor seismograf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar