Oleh :
Eko Yulianto Peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Hasil kajian cepat terhadap kinerja sistem peringatan dini tsunami
pada gempa Aceh, 11 April 2012, menunjukkan sistem ini ternyata amat
lemah.
Kajian dilakukan oleh tim gabungan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia; Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); Badan
Nasional Penanggulangan Bencana; serta Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi
Bencana Universitas Syiah Kuala.
Kegagalan sistem dalam
mengeluarkan peringatan dini bukan hanya karena listrik mati, melainkan
juga karena sistem pendukung yang tak bekerja. Ini masih ditambah dengan
pemahaman masyarakat yang lemah terhadap sistem peringatan dini
sehingga memicu respons tak semestinya.
Berdasarkan laporan warga,
beberapa jaringan PLN mati seketika karena gempa. Menurut PLN, ada
jaringan yang rusak oleh gempa. Jaringan sisanya masih menyala hingga 19
menit pascagempa. PLN mematikan semua jaringan pukul 15.57.
Rekaman
video di kantor Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) Aceh mengonfirmasi
penerimaan informasi Peringatan Dini I. Jika mengacu pada catatan
urutan kejadian gempa Aceh yang disiarkan BMKG, rekaman itu kemungkinan
besar juga menerima informasi peringatan dini kedua yang dikirim pada
menit ke-9,5 setelah gempa. Namun, tidak ada petugas di ruang Pusdalops
sehingga tidak ada yang menghidupkan sirene.
BMKG berupaya
menghidupkan sirene di Aceh dari Jakarta pada menit ke-10 pascagempa,
tetapi gagal. Muncul pertanyaan terhadap keandalan sistem komunikasi
sinyal sirene mengingat listrik masih menyala saat itu. Aktivasi melalui
GSM dan Byru boleh jadi terhambat oleh padatnya lalu lintas sinyal
(congest). Namun, aktivasi melalui VSat semestinya bisa karena listrik
masih menyala.
Upaya aktivasi juga dilakukan dari kantor Pusdalops Aceh pukul 17.09 (menit ke-91 pascagempa) untuk sirene di Kahju, Lamkruet, dan Kantor Gubernur serta pukul 17.12 (menit ke-93 pascagempa) untuk sirene di Lampulo, Kahju, Kantor Gubernur, dan Simpanglayang.
Catatan
urutan peristiwa BMKG menyebutkan bahwa aktivasi sirene di Kahju dan
Kantor Gubernur berhasil dilakukan secara manual pada menit ke-40 (pukul
16.18.29). Data itu mungkin tidak akurat karena aktivasi manual berarti
sirene diaktifkan di lokasi sirene berada. Satu-satunya yang dapat
melakukan adalah provider sistem sirene, yaitu PT Pasifik Satelit
Nusantara (PSN). Berdasarkan informasi, petugas PSN di lapangan berusaha
mengomunikasikan kegagalan aktivasi ke kantor PSN Jakarta. Komunikasi
itu baru berhasil pada pukul 16.43 (menit ke-65 setelah gempa). Petugas
PSN di lapangan menanyakan apakah sirene perlu diaktivasi dan minta
diajari caranya. Petugas PSN Jakarta kemudian menginstruksikan cara
mengaktivasi sirene secara manual.
Jika dari waktu komunikasi
hingga tombol aktivasi ditekan perlu waktu lima menit, sirene di Kantor
Gubernur berbunyi pukul 16.48, menit ke-70 setelah gempa. Sementara
sirene di Kahju berbunyi 30 menit kemudian sekitar pukul 17.20 (menit
ke-102 setelah gempa) karena saat itu perlu waktu sekitar 30 menit ke
Kahju dari Kantor Gubernur.
Aktivasi sirene secara manual tidak
ada di dalam prosedur tetap peringatan dini. Namun, masih lemahnya
struktur rantai peringatan dini pada tingkat pemda memang memunculkan
dilema setidaknya terkait dengan pihak yang lebih tepat dalam
pengaktivasian sirene.
Pendukung rantai PD Lemah
Rantai
informasi peringatan dini (PD) pada jalur pendukung, yaitu TNI dan
Polri, juga tidak berjalan baik. Meskipun informasi peringatan dini dari
BMKG yang dikirim melalui Markas Besar TNI diterima petugas di kantor
Kodam melalui faksimile, informasi ini tak sampai ke petugas di kantor
Koramil dan ataupun ke Pusdalops. Petugas di kantor Polsek juga tidak
memperoleh informasi peringatan dini dari jajaran di atasnya.
Hal
serupa terjadi pada kasus gempa dan tsunami Mentawai, 25 Oktober 2010.
Petugas jaga di Polsek dan Koramil Sikakap tidak mendapatkan informasi
peringatan dini ataupun arahan evakuasi dari sumber-sumber resmi rantai
peringatan. Ini patut disayangkan karena TNI dan Polri merupakan
institusi yang memiliki petugas jaga 24 jam. Ketika jaringan listrik
mati di Aceh, sistem komunikasi radio TNI dan Polri tidak terganggu.
Dalam
sistem peringatan dini saat ini, TNI dan Polri juga hanya berperan
sebagai penyambung lidah informasi peringatan dini dari BMKG kepada
Pusdalops, tetapi tidak berhak menggunakan informasi itu untuk
mengarahkan masyarakat. Jika TNI dan Polri adalah bagian Pusdalops,
sistem peringatan dini tsunami ini akan lebih kuat ke depan.
Respons dan persepsi keliru
Respons
awal sebagian besar masyarakat sudah baik, yaitu menggunakan gempa
sebagai tanda evakuasi. Beberapa orang masih ada yang mencoba menuju
pantai untuk mengamati apakah air laut surut. Pada banyak kasus tsunami
lokal, upaya ini ibarat menyerahkan nyawa.
Evakuasi umumnya
dilakukan dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat menuju tempat
tinggi. Kemacetan terjadi di banyak ruas jalan dan persimpangan karena
sebagian besar warga menuju arah sama, yaitu Lambaro.
Ketiadaan
rambu-rambu evakuasi bisa menjadi salah satu faktor yang memperparah
kemacetan. Sementara sebagian warga justru bergerak ke arah berlawanan
karena ingin menjemput anggota keluarganya sebelum menyelamatkan diri.
Kepanikan
semakin menjadi ketika terdengar bunyi sirene. Dalam persepsi
masyarakat dan bahkan aparat, bunyi sirene adalah tanda bahwa tsunami
benar-benar terjadi, apalagi sirene teraktivasi secara otomatis jika
sensornya tersentuh gelombang tsunami. Anehnya, sebagian besar
masyarakat belum pernah mendengar bunyi sirene itu dan tidak tahu
letaknya.
Hanya sedikit masyarakat yang memanfaatkan bangunan
penyelamat. Banyak orang tidak percaya bahwa bangunan itu akan kuat
menahan gelombang tsunami karena belum teruji. Banyak lagi yang
berpendapat bahwa bangunan itu diperuntukkan bagi orangtua, wanita,
anak-anak, dan orang-orang yang tidak memiliki kendaraan.
Dalam
menit ke-30 hingga ke-60, konsentrasi massa akibat kemacetan lalu lintas
masih terjadi di banyak jalan dan persimpangan yang dilanda tsunami
pada tahun 2004. Beruntung bahwa sumber gempa tidak berada di tempat
yang sama dan mekanismenya juga tidak sama sehingga tsunami tidak
terjadi.
Gempa Aceh merupakan gempa besar pertama yang menguji
keandalan sistem peringatan dini tsunami Indonesia. Hasil kajian
menunjukkan, sistem ini masih sangat lemah dan perlu pembenahan
menyeluruh. Bukan hanya perangkat teknologinya, melainkan terutama juga
pada hal-hal yang berkaitan dengan regulasi, sosialisasi, dan kapasitas
manusianya.
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar