Kamis, 07 Juni 2012

Kala Gerhana (Diduga) Memicu Gempa, Membedah Gempa Sukabumi 4 Juni 2012 (Mw 5,9)

oleh Ma'rufin Sudibyo pada 5 Juni 2012

Sebuah gempa tektonik kuat mengguncang lepas pantai selatan Jawa Barat pada Senin 4 Juni 2012 pukul 18:18 WIB, tepat tatkala langit Indonesia sedang berhias peristiwa Gerhana Bulan Sebagian (GBS). USGS National Earthquake Information Center mencatat pusat gempa berjarak 77 km di sebelah selatan-barat daya kota Sukabumi atau 35 km di selatan kota kecamatan Cibungur. Sehingga gempa ini diberi nama Gempa Sukabumi ataupun Gempa Cibungur. Koordinat episentrum adalah 7,671 LS 106,418 BT pada kedalaman sumber 67 km di bawah permukaan laut, yang tergolong gempa berkedalaman menengah.

Data sedikit berbeda disajikan Pusat Gempa Nasional BMKG, dimana koordinat episentrumnya 7,99 LS 106,19 BT pada kedalaman 24 km. Sedikit perbedaan mengemuka pula pada magnitudo gempa. Menurut UGSG, gempa ini memiliki kekuatan 5,9 skala Magnitudo berdasarkan moment magnitude-nya. Sementara menurut BMKG, gempa ini berskala 6,1 skala Richter berdasarkan body-wave magnitude-nya. Dalam ilmu kegempaan, selisih posisi episentrum dan magnitudo tersebut masih wajar dan hanyalah variasi statistik, apalagi data-data USGS kebanyakan diambil dari jaringan stasiun-stasiun pemantau gempa yang jaraknya lebih jauh dari lokasi gempa dibanding stasiun-stasiun BMKG.


Plotting posisi sumber gempa ini memperlihatkan episentrum berada di Samudera Hindia sehingga tergolong gempa laut. Kedalaman sumber gempa setara dengan garis zona Benioff-Wadati 50 km, sehingga jelas gempa ini bersumber dari bidang kontak tunjaman lempeng Australia dan Sunda (Eurasia) yang berada di selatan Jawa Barat. Mekanisme fokus memperlihatkan gempa ini disebabkan oleh pematahan naik (thrust) pada bidang tunjaman tersebut. Dengan asumsi sumber gempa adalah bidang seluas 20 x 10 kilometer persegi, maka gempa ini ditimbulkan oleh pematahan naik yang disertai pergeseran mendadak sebesar 15 cm. Dengan kedalaman cukup besar dan pergeseran demikian kecil, maka tidak terjadi pengangkatan/penurunan dasar Samudera Hindia yang berada tepat di episentrum, sehingga gempa ini tidak menimbulkan tsunami.
Plotting episentrum, radius getaran (skala 4 dan 3 MMI) serta kepadatan penduduk di daerah terdampak menurut USGS Landscan 2005. Sumber : USGS, 2012.
Bagaimana dampak gempa ini? Dari sisi energetikanya, energi permukaan gempa ini mencapai 11 kiloton TNT atau setara dengan setengah energi bom nuklir Hiroshima. Gempa ini setidaknya menggetarkan kawasan hingga sejauh 240 km dari episentrumnya. Kota Sukabumi menerima guncangan cukup kuat, yakni mencapai skala 4 MMI. Sementara Jakarta dan Bandung bergetar dengan skala 3 MMI. USGS Landscan memprediksi sedikitnya 57,8 juta jiwa tinggal di kawasan yang terlanda getaran gempa mulai skala 2 MMI hingga 4 MMI, namun tidak ada yang menerima getaran lebih keras dari skala 5 MMI. Sehingga getaran akibat gempa ini tidak ada yang melampaui batas 6 MMI, yakni batas saat getaran mampu menyebabkan kerusakan struktural signifikan pada bangunan.

Sehingga getaran akibat gempa ini tergolong ringan-menengah dan diestimasikan tidak menyebabkan jatuhnya korban jiwa. USGS PAGER merilis, terdapat probabilitas 99 % untuk menyatakan tidak adanya korban jiwa akibat gempa ini, pun demikian terdapat probabilitas 99 % pula untuk menyatakan gempa ini tidak diikuti kerusakan fisik dan kerugian material. Ini sejalan dengan laporan BPBD Sukabumi, yang menyatakan (untuk sementara) 21 bangunan rusak ringan sementara 2 orang menderita luka-luka ringan akibat gempa.
Probabilitas korban jiwa dan kerusakan signifikan akibat Gempa Sukabumi 4 Juni 2012 menurut USGS PAGER. Nampak pada probabilitas hingga 99 %, gempa ini tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerusakan signifikan. Sumber : USGS, 2012.


Gempa tektonik bukanlah hal aneh di Jawa Barat. Sebagai kawasan yang menjadi daerah transisi geologis antara busur pulau Sumatra dan Jawa yang masing-masing memiliki sifat berbeda, Jawa Barat secara geologis terpecah-belah oleh beragam patahan yang berpotensi menjadi sumber gempa tektonik. Selain zona tunjaman, di sekitar sumber Gempa Sukabumi 4 Juni 2012 ini juga terdapat perpanjangan sistem patahan besar Sumatra, yang menerus dari Ujungkulon ke tenggara hingga bertemu dengan palung Jawa. Lintasan patahan besar itu tepat berimpit dengan posisi episentrum gempa Sukabumi 4 Juni 2012. Selain itu di sebelah utara, mulai Teluk Pelabuhan Ratu dan terus melampar hingga ke Bandung terdapat sistem patahan Cimandiri. Patahan ini kemungkinan terus bersambung dengan patahan Lembang di utara Bandung dan patahan Baribis hingga berujung di kaki Gunung Ciremai (Cirebon). Sepanjang sejarahnya, patahan-patahan ini telah berulangkali terpatahkan dan menghasilkan getaran gempa dengan kekuatan dan skala getaran yang beragam.

Gerhana Bulan

Amat menarik perhatian bahwa tatkala Gempa Sukabumi 4 Juni 2012 ini meletup, langit Indonesia sedang mengalami Gerhana Bulan Sebagian dan baru saja mencapai puncaknya dengan Bulan berada di atas ufuk timur. Apakah ada hubungan antara keduanya?

Dalam perspektif ilmu perbintangan, Bumi beredar mengelilingi Matahari tidak hanya akibat pengaruh gravitasi Matahari semata, namun juga dipengaruhi planet-planet lainnya dalam tata surya kita terutama gang of four : Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus. Jadi, selagi Bumi dipaksa mengelilingi Matahari, keempat planet tersebut juga mengenakan gravitasinya ke Bumi. Sehingga posisi Bumi dalam orbitnya relatif stabil tanpa berayun maju mundur maupun berlenggak-lenggok. Meski sahamnya jauh lebih kecil, Bumi juga dipengaruhi oleh gravitasi Bulan. Bulan mengenakan gravitasinya demikian rupa sehingga Bumi, yang sumbu rotasinya miring 23,5 derajat dari seharusnya, tetap stabil dalam mengelilingi Matahari tanpa harus terguling-guling.

Selain gaya gravitasi, interaksi antar benda-benda langit juga mewujud dalam gaya tidal, alias gaya pasang surut gravitasi.  Secara sederhana, jika terdapat dua benda langit berada dalam satu garis lurus, maka masing-masing mengenakan gaya tidalnya kepada benda langit lainnya demikian rupa sehingga massa masing-masing benda langit seakan-akan lebih terpusat ke garis lurus tersebut. Fenomena ini amat jelas terlihat pada terjadinya proses pasang surut di Bumi. Meski Matahari jauh lebih massif dibanding Bulan, namun Bulan jauh lebih dekat ke Bumi sehingga gaya tidal Bulan mencapai 2 kali lipat lebih besar dibanding Matahari. Saat Bumi, Bulan dan Matahari berada dalam satu kelurusan, Bulan dan Matahari mengenakan gaya tidalnya demikian rupa sehingga Bumi merasakan resultan gaya tidal yang cukup kuat. Secara sederhana dapat dikatakan, pada saat Bulan berada di antara Bumi dan Matahari (yakni situasi konjungsi atau Bulan baru), resultan gaya tidal di Bumi mencapai 3 kali lipat di atas normal. Sehingga pada saat itu bakal terjadi pasang naik paling besar.

Perairan samudera di Bumi menderita gaya tidal paling kuat, karena sifatnya yang cair sehingga lentur dan mudah bergerak meski massanya sangat besar. Namun apakah hanya perairan saja yang menderita gaya tidal? Nampaknya tidak. Massa daratan di Bumi pun mengalami hal serupa, meski tingkat pasangnya lebih rendah karena berbentuk padat dan lebih kaku. Saat resultan gaya tidal mencapai maksimum, kerak Bumi dapat mengalami pasang naik hingga lebih dari 50 cm khususnya pada titik yang berhadapan langsung dengan Bulan.

Apakah pasang naik kerak bumi tersebut dapat menyebabkan sumber gempa potensial didalamnya terpatahkan sehingga meletup sebagai gempa tektonik? Ini masih diperdebatkan dan belum menemukan kesimpulan yang utuh. Sebuah gempa bumi tektonik sangat kompleks dan memiliki variabel yang berjibun jumlahnya. Secara umum sebuah gempa tektonik bisa meletup karena adanya dua faktor utama : sumber dan pemicu. Sumber amat menentukan kejadian gempa sehingga jika sumbernya dihilangkan maka gempa takkan terjadi. Dalam gempa tektonik, kita tahu sumbernya adalah bidang kontak antara dua lempeng yang bertunjaman, berhadapan maupun bergesekan. Sepanjang lempeng tektonik masih bergerak, sepanjang itu juga sumber gempanya masih ada. Sementara pemicu adalah faktor yang menyebabkan sumber gempa potensial melepaskan gempa tektoniknya lebih cepat. Jika faktor pemicu tidak ada, gempa akan tetap terjadi namun baru meletup dalam waktu yang lebih lambat dibanding jika ada pemicunya.

Beberapa  cendekiawan berasumsi Bulan, khususnya dalam kondisi konjungsi (Bulan baru) atau oposisi (purnama) merupakan salah satu faktor pemicu gempa tektonik. Tamrazyan (1968) melaporkan, berdasarkan energi gempa tektonik global dalam kurun waktyu 1903–1956 yang dibatasi pada magnitude lebih dari 7,9 dan dipilih hanya pada saat yang berdekatan dengan Bulan menempati titik perigee–nya (titik terdekat ke Bumi dalam orbit Bulan), terlihat 28,5 % energi gempa itu dilepaskan pada saat konjungsi sementara 54,7 % dilepaskan pada saat oposisi (Bulan purnama). Sedangkan sisanya (16,8 %) dilepaskan pada saat Bulan mencapai fase kuartir pertama atau kuartir ketiga. Dominannya pelepasan energi saat Bulan baru dan purnama, sementara geometri kedua kejadian terhadap posisi Matahari hakikatnya adalah sama mengindikasikan sebuah hubungan antara kejadian kegempaan dengan faktor langit, sebagai satu dari sekian banyak faktor pemicu gempa yang kompleks.
Peta resolusi rendah (5 x 5 derajat) tentang distribusi nilai tegangan tidal global beserta skalanya. Sumber : cochran dkk, 2012.


Cochran dkk (2004) juga memaparkan hal serupa sekaligus menggarisbawahi resultan gaya tidal yang diderita Bumi menyebabkan terjadinya pasang surut baik di badan air (samudera) maupun kerak bumi. Namun pasang surut samudera memberikan pembebanan lebih besar bagi sumber–sumber gempa potensial yakni mencapai hampir 0,05 MPa (0,5 bar) atau 10 kali lipat lebih besar dibanding oleh pasang surut kerak bumi sendiri. Lewat pembebanan akibat pasang surut samudera inilah sebuah gempa tektonik bersumber dangkal (gempa dangkal) bisa terpicu dengan probabilitas 99,99 % bila amplitudo tegangan tidal cukup tinggi (lebih besar dari 0,01 MPa). Studi lanjutan memperlihatkan gempa dangkal dengan tipe pematahan menurun (normal) di punggungan tengan samudera dari lempeng Juan de Fuca berkorelasi dengan gaya tidal. Demikian pula di Jepang, dimana korelasi kejadian kegempaan dan gaya tidal dijumpai bahkan untuk sub–kawasan dengan korelasi tertinggi terhadap gempa besar.

Peta beresolusi rendah dari Cochran dkk (2004) memperlihatkan ada banyak lokasi dalam Pacific Ring of Fire yang memiliki amplitudo puncak tegangan tidal lebih besar dari 0,01 MPa. Misalnya saja Amerika Selatan (Chile, Peru), Amerika Tengah (Meksiko), Pasifik utara (busur Kepulauan Aleut hingga semenanjung Kamchatka), Jepang utara, Filipina, Indonesia, Papua Nugini dan Selandia Baru. Khusus untuk Indonesia, sub–kawasan dengan amplitudo puncak tegangan tidal lebih besar dari 0,01 MPa terletak di Indonesia timur (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua), sebagian Jawa (khususnya Jawa bagian barat) dan sebagian Sumatra (khususnya Sumatra bagian utara).

Dalam kasus Gempa Sukabumi 4 Juni 2012, gempa ini terjadi bersamaan waktunya dengan gerhana Bulan Sebagian, yang adalah oposisi istimewa (dimana Bulan, Bumi dan Matahari tak hanya berada dalam satu kelurusan, melainkan tepat segaris lurus/syzygy). Sehingga dalam dimensi waktu, ada keterkaitan antara keduanya, meski dari sisi ini keterkaitan itu bisa saja hanya kebetulan semata ataupun karena saling mempengaruhi. Sementara dari dimensi keruangan, kawasan zona tunjaman Jawa bagian barat memang memiliki korelasi lebih tinggi antara kegempaan regional dengan penjajaran posisi Bulan, Bumi dan Matahari.

Jadi, apakah Gerhana Bulan Sebagian 4 Juni 2012 memicu gempa tektonik di Sukabumi? Mungkin saja.

Sumber :
Cochran dkk. 2004. Earth Tides Can Trigger Shallow Thrust Fault Earthquakes. Science Express, 21 Oct 2004.

Tamrazyan. 1968. Principal Regularities in the Distribution of Major Earthquakes Relative to Solar and Lunar Tides and Other Cosmic Forces. Icarus, vol. 9 (1968) halaman 574-592.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar